Tanam Paksa
Tanam Paksa (cultuurstelsel)
Cultuurstelsel
atau dalam bahasa Indonesia secara harafiah berarti sistem kultivasi, namun
arti sebenarnya lebih merujuk kepada sistem budi daya. Namun sejarawan Indonesia
berpendapat jika arti cultuurstelsel adalah tanam paksa.
Arti cultuurstelsel
secara bahasa sejatinya tidaklah penting, karena menurut Shakespeare apalah
arti sebuah nama, walaupun bunga Mawar diubah namanya ia akan tetap wangi. Begitulah
kebijakan cultuurstelsel, apapun namanya ia akan terus menjadi tragedi berdarah
bangsa Indonesia.
Cultuurstelsel
merupakan kebijakan Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch pada
tahun 1830. Penyebab utama dari kebijakan ini adalah karena kesulitan finansial
yang dihadapi Belanda, dikarenakan Perang Jawa yang terjadi pada tahun
1825-1830.
Peperangan
itu menghabiskan begitu banyak sumber daya, maklum saja perlawanan geriliya Pangeran
Diponegoro yang begitu gencar membuat Belanda kewahalan. Walaupun pada akhirnya
Pangeran Diponegoro dikalahkan dengan kelicikan Belanda. Tetap saja peperangan
itu membuktikan bahwa Belanda tidak sekuat yang kita bayangkan.
Belanda
hanyalah sebuah negara biasa yang banyak kekurangan dalam hal administrasi
negara. Korupsi yang pada waktu itu menggerogoti pemerintah dan kecamuk perang
dimana-mana hampir membuatnya terjebak dalam krisis keuangan berkepanjangan.
Hingga
pada tahun 1829 Van Den Bosch dikirim ke Indonesia untuk membuat sebuah peraturan,
yang mewajibkan rakyat menyerahkan Landrento bukan lagi dalam bentuk
uang namun dalam bentuk tenaga kerja.
Isi peraturan
itu mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya
(20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan nila. Hasil tanaman ini akan
dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil
panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Dengan cara itu, maka penduduk desa dapat dipastikan membayar
pajak kepada Belanda. Jika didalam pembayaran tersebut terdapat kelebihan maka
kelebihan itu akan dikembalikan kepada penduduk desa. Apabila terdapat kekurangan
maka penduduk desa tersebut harus membayar kekurangan tersebut.Sedangkan bagi penduduk
desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun pada kebun-kebun milik Belanda.
Jika
kita pikir-pikir kembali maka peraturan yang diberlakukan oleh Belanda hampir sama
seperti perbudakan kulit hitam yang terjadi di benua Amerika. Budak-budak kulit
hitam di benua Amerika dipaksa bekerja di perkebunan dan ladang milik majikan mereka
ataupun di lahan-lahan milik Negara. Namun praktik perbudakan ini ditentang
oleh kaum yang menamai diri mereka Abolitionism.
Puncaknya
adalah tahun 1865 di Amerika Serikat dengan diratifikasinya Amandemen ke-13. Yaitu
amandemen yang menghapus perbudakan, proses terciptanya amandemen ke-13 ini
tidaklah mudah. Amerika harus mengalami perang saudara. Ia terbelah menjadi 2
kubu. Yaitu Utara dan Selatan atau pro perbudakan dan kontra perbudakan. Peperangan
itupun harus menelan korban jiwa sebanyak 620,000. Sebuah angka yang begitu
besar untuk memperjuangkan Hak Asasi Manusia.
Hak
Asasi Manusia ialah ide yang muncul dari tradisi berfikir peradaban Barat, yang
mana sayangnya tidaklah tercermin oleh Belanda ketika memperlakukan Koloninya. Menurut
Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 1, sistem tanam paksa
memungkinkan eksploitasi pedesaan Jawa secara maksimal.
Eksploitasi
ini yang menginspirasi Eduard Dowes Dekker atau Multatuli menulis Max Haveelar,
yaitu kisah seorang Asisten Residen yang bertugas di Lebak. Dalam buku itu dikisahkan
jika sistem tanam paksa yang selama ini memakmurkan Belanda di Eropa ternyata
membuat jutaan jiwa harus hidup dalam kesengsaraan.
Ternyata
kesengsaraan yang dituangkan dalam Max Haveelar bukanlah bualan Multatuli
semata. Pasalnya, menurut catatan seorang Inspektur Tanam Paksa, L.Vitalis
menyebut laporan dari awal 1835, di Priangan. Mayat yang bergelimpangan karena
keletihan dan kelaparan, di sepanjang Tasikmalaya dan Garut. Dibiarkan begitu
saja, tidak dikubur, itu karena alasan bupati yang seolah tak perduli: “Di
waktu malam harimau akan menyeret mereka”. Bukan hanya itu bencana kelaparan juga terjadi di daerah Grobogan, Jawa Tengah, pada tahun 1849 yang dikabarkan menelan korban jiwa
sebanyak 9/10 dari jumlah penduduk yang ada. Penduduk Demak yang kala itu
berjumlah 336 ribu jiwa tinggal 120 ribu jiwa.
Kesengsaraan ini muncul
akibat waktu
yang dibutuhkan dalam penggarapan budidaya tanaman ekspor seringkali mengganggu
kegiatan penanaman padi. Persiapan lahan untuk tanaman kopi biasanya
berbenturan dengan penanaman padi. Sehingga terjadi kelangkaan Pangan dibanyak daerah
yang menyebabkan bencana kelaparan.
Bukan
hanya waktu yang berbenturan, tapi juga tanaman tebu yang membutuhkan air yang banyak,
memberatkan petani. Apalagi irigasi pada masa itu dibuat secara sederhana oleh
petani.
Pelaksanaan
sistem tanam paksa ini melipatgandakan kebutuhan akan hewan ternak petani, tidak hanya
untuk pekerjaan di ladang tetapi juga sebagai alat angkut hasil tanaman ekspor
menuju pabrik atau pelabuhan.
Selain itu para penduduk desa juga diwajibkan melakukan
pekerjaan wajib seperti menanam, memotong dan mengangkut dan bekerja di pabrik-pabrik.
Tak jarang seluruh penduduk desa dikerahkan untuk mengerjakan pekerjaan wajib
di pabrik-pabrik.
Sistem
yang diciptakan Van Den Bosch ini bukan hanya berhasil mengisi kekosongan kas Belanda
melainkan membuat Belanda menjadi negara yang makmur. Bahkan pada 1832 dan 1867
keuntungan yang diperoleh Belanda mencapai 967 juta gulden. Sebuah angka yang
begitu fantastis tapi tidaklah sepandan untuk nyawa yang harus gugur demi
mencapai angka tersebut.
Tanam Paksa adalah sebuah catatan buruk bagi rakyat
Indonesia. Itu adalah masa dimana para pemilik lahan diperbudak dilahannya
sendiri.
Karena jasanya Van Den Bosch dianugerahi gelar Graaf
oleh kerajaan Belanda. Gelar itu adalah apresiasi atas jasa Van Den Bosch mengisi
kekosongan kas Negeri Belanda.
edan
BalasHapus